Senin, 25 April 2011

Surat Terbuka untuk Pak Menteri: PELAKSANAAN UN DAN PENODAAN MARTABAT GURU

Saudara Menteri Pendidikan Nasional yang terhormat.
Ujian Nasional (UN) kembali digelar. Ritual tahunan kembali berlangsung. Entah bagaimana kesibukan Saudara sebagai menteri dan semua jajaran di kementerian, kami, guru-guru, tidak pernah tahu. Dinas Pendidikan provinsi dan/atau (Suku) Dinas Pendidikan kabupaten/kota, pasti juga disibukkan oleh ritual tahunan ini. Demikian juga universitas dan institusi Polri yang dilibatkan dalam ritual tahunan.

Sampai tahun lalu banyak guru mencemaskan keberadaan UN. Dengan logika yang hampir seragam, banyak sahabat-sahabat guru mempertanyakan, “Bagaimana mungkin UN yang hanya tiga-empat hari itu dapat menentukan lulus-tidaknya seorang siswa, mengalahkan perjuangan belajar siswa selama tiga tahun di bangku sekolah menengah?” Meskipun tidak kurang cemasnya seperti guru-guru lain, sampai tahun lalu saya masih menghibur diri dengan membalik logika sahabat-sahabat guru dan siswa-siswa saya: “Sesungguhnya yang harus ada dalam kepala kita adalah pemikiran bahwa belajar tiga tahun di kelas pasti akan menentukan prestasi tiga-empat hari UN, dan karena itu lulus-tidaknya siswa-siswa dari sekolah tidak ditentukan oleh tiga-empat hari UN ini, tetapi sudah ditentukan sejak tiga tahun lalu.”

Tahun ini kecemasan saya hampir sirna, ketika Kemendiknas yang Saudara pimpin memperhitungkan perolehan nilai-nilai raport dan perolehan nilai-nilai ujian sekolah dalam mempertimbangkan kelulusan seorang siswa. Terlebih lagi, paket soal UN untuk tiap ruangan memiliki keragaman. Konon, pada UN tahun ini, bukan hanya terdapat pengacakan nomor seperti paket soal UN tahun lalu, tapi keragaman variasi paket soal UN. Teristimewa lagi, kelima paket soal UN itu harus distribusikan secara acak di dalam kelas. Dengan strategi itu semua, diharapkan praktik kecurangan yang merupakan jalan pintas untuk lulus dari sekolah dapat ditepis.

Tetapi kecemasan saya tahun ini tidak benar-benar sirna, oleh karena pelaksanaan UN masih menyisakan kegetiran bagi saya sebagai guru. Ada perasaan getir setiap kali saya diberi amanah oleh Rayon Penyelenggara UN sebagai pengawas ruang dalam pelaksanaan UN. Disadari atau tidak, pada pelaksanaan UN tahun ini, guru bukan lagi menjadi subjek ketika memerankan menjadi pengawas ruang dalam UN. Dalam kalimat yang lebih sinistis, para guru pengawas itu tak lebih dari sekedar robot, yakni manusia yang kehilangan aspek-aspek kemanusiaannya. Atau tepatnya sebagai subjek yang dicabut hak-hak kemanusiaannya.

Bayangkanlah Saudara Menteri, ketika guru-guru hanya sekedar menjadi daftar nama, dikirim dengan kalkulasi matematis oleh Kepala Sekolah penyelenggara ke Rayon UN. Kalkulasi itu berupa dua kali jumlah ruangan peserta UN pada suatu sekolah penyelenggara, ditambah satu atau dua untuk pengawas cadangan. Selanjutnya, daftar nama yang terkumpul dari sejumlah sekolah penyelenggara itu diacak oleh Rayon UN untuk didistribusikan ke semua sekolah penyelenggara UN dalam lingkungan rayon tersebut. Istilah manusiawinya, guru-guru itu dijadikan pengawas silang dalam pelaksanaan UN.

Guru tak lebih dan tak kurang merupakan robot-robot, ketika harus memerankan sebagai pengawas silang. Setiap sekolah mengirim sejumlah guru ke Rayon penyelenggara UN, dan kemudian setiap sekolah akan menerima guru pengawas dari Rayon penyelenggara sama banyaknya dengan guru yang dikirim. Dari sekolah pengirim, guru-guru “diinstall” dengan program pembekalan pengawasan UN oleh kepala sekolah, dan kemudian di sekolah tujuan kembali “diinstall” dengan program pembekalan yang sama oleh kepala sekolah tujuan. Kepala sekolah tujuan seakan-akan tak percaya bahwa para guru pengawas itu telah dibekali oleh kepala sekolah asalnya. Atau kepala sekolah asal seakan-akan tidak percaya bahwa nanti di sekolah tujuan guru-guru yang dikirim sebagai pengawas silang itu akan mendapatkan pembekalan dari kepala sekolah. Atau mungkin guru pengawas dari sekolah lain itu memang harus diragukan kepercayaannya, sehingga calon robot-robot pengawas ruang itu harus diprogram ulang oleh kepala sekolah penyelenggara.

Semula saya berprasangka positif dengan konsep pengawas silang ini, yakni demi terlaksananya praktik kejujuran dalam pelaksanaan UN. Setidaknya, saya dapat mengambil manfaat dari praktik kepengawasan silang ini: menjadi tahu ruang-ruang kelas sekolah lain, menjadi kenal dengan guru-guru lain, kembali bertemu dengan sahabat lama yang kebetulan sama-sama menjadi pengawas silang, mendapat informasi tentang banyak hal dari perkembangan sekolah sampai jaminan kesejahteraan guru di sekolah lain, dan masih banyak manfaat yang dapat saya ambil. Tetapi, begitu guru-guru hanya diperlakukan bagai robot-robot oleh sistem penyelenggaraan UN, terasa oleh saya bahwa pelaksanaan UN ini telah menodai martabat kemanusiaan saya sebagai guru. Guru-guru tidak diizinkan untuk mengantar anak-anak yang dididiknya sampai pada titik yang penghujung. Pada saat kritis-kritisnya kondisi psikologis anak dalam menghadapi ujian, seorang siswa tidak didampingi oleh guru-guru yang mungkin dapat meneguhkan kejiwaannya yang rapuh. Sementara guru-guru yang dihadapinya, yang ada di depan ruang ujian, adalah robot-robot yang sudah diprogram menjadi malaikat maut.

Di koran, seorang Kepala Dinas Pendidikan satu provinsi menjamin tidak ada kebocoran soal dalam UN kali ini. Pada waktu yang sama, running-text teve menyajikan informasi yang bersumber dari lembaga Saudara: “Kemendiknas minta siswa tak percaya kunci jawaban UN (yang beredar)”, yang (seolah-olah) memberi indikasi bahwa soal UN memang masih mengalami kebocoran. Perkiraan ini didukung oleh kenyataan di lapangan, seorang sahabat menginformasikan pada saya bahwa beberapa muridnya mendapat tawaran harga paket kunci jawaban UN.

Saudara Menteri. Konon harga paket kunci jawaban UN 2011 itu hanya berkisar antara Rp.12-14 juta saja, harga yang sangat murah bila dibanding dengan harus mengulang setahun di kelas XII karena tidak ada ujian tahap dua. Dengan harga paket itu, seorang siswa dijamin lulus. Yang unik pada kali ini, konon paket kunci itu tidak menawarkan janji nilai 100, yang mungkin akan meragukan korektor atau sekolah terhadap kemampuan prestasi seorang anak peserta UN. Paket itu menawarkan janji perolehan nilai yang wajar, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan bagi siapapun. Perolehan nilai seolah-olah murni hasil prestasi belajar siswa. Paket itu tidak ditawarkan oleh guru-guru atau sekolah kepada anak didiknya, tapi paket itu konon ditawarkan oleh bimbingan belajar. Saudara Menteri, jika ada bimbingan belajar yang menawarkan paket kelulusan demikian, bagaimana tindakan Saudara?

Bagaimana bisa mereka begitu yakin menjual jasa paket kunci jawaban itu dengan garansi jaminan lulus, padahal paket soal kali ini memiliki keragaman lima variasi? Pertanyaan ini hanya mungkin tidak dapat dijelaskan dengan sederhana, tapi mudah dipahami dengan menjelaskan terlebih dahulu posisi pengawas-pengawas ruang UN yang hanya sekedar sebagai robot-robot pelaksana ketetapan Rayon penyelenggara UN dan pelaksana ketetapan Gubernur.

Dengan ketetapan BSNP yang mengharuskan pengacakan distribusi soal pada tingkat ruang kelas, sesungguhnya dapat meminimalisasi praktik penjualan jasa paket kunci jawaban soal UN. Lebih dari itu, guru-guru pengawas silang tetap dianggap sebagai manusia, yang punya kemampuan mendistribusikan soal secara acak. Namun ketetapan BSNP ini dimaknai berbeda oleh seorang gubernur ketika membuat peraturan teknis pelaksanaan pengacakan paket soal UN dengan memberi keputusan berikut: “Pembagian naskah soal terdiri dari 5 (lima) paket, secara acak diatur dengan pola sebagaimana denah pembagian soal,” dan “Setiap mata uji siswa mendapat kode paket yang berbeda”.

Alih-alih mendapatkan paket soal secara acak, keputusan gubernur ini malah memberikan kepastian pada setiap siswa peserta UN terhadap hari apa, mata uji ke berapa, duduk di mana, ia mendapat paket soal apa. Dengan mendasarkan diri pada denah pembagian soal yang ada, siswa dengan nomor urut awal, pada hari pertama, untuk mata uji ke-1, akan mendapat paket P11. Selanjutnya berturut-turut akan mendapat paket soal P12, P13, P14, P15, dan P11 lagi. Jauh sebelum melakukan ujian, dengan menyandarkan diri pada aturan Gubernur ini, siswa tersebut sudah mengetahui bahwa selama UN ia akan mendapat soal Bahasa Indonesia paket P11, Biologi/Sosiologi paket P12, soal Matematika paket P13, soal Bahasa Inggris paket P14, soal Kimia/Geografi paket P15, dan hari terakhir akan mendapat soal Fisika/Ekonomi paket P11 kembali. Agaknya kepastian seperti inilah yang menggiurkan para penjual jasa paket kunci jawaban UN untuk menjual paket kunci jawaban UN 2011.

Saudara Menteri. Dengan mengabaikan praktik kecurangan siswa yang memanfaatkan jasa penjual paket kunci jawaban ini, saya merasakan ada aroma yang menistakan martabat guru ketika salah seorang gubernur membuat peraturan pelaksanaan UN, yakni ketidakpercayaan kepada guru sebagai pengawas ruangan. Seolah-olah guru pengawas silang ini pun tidak lagi dapat dipercaya, sehingga sampai pada tahap distribusi soal di ruanganpun guru hanya memerankan sebagai robot pelaksana “juknis” yang sudah ada. Ketidakpercayaan ini pada hakekatnya merupakan ketidakpercayaan sistemik tingkat dua setelah guru tidak dapat dipercaya untuk mengawas UN di sekolahnya. Ketidakpercayaan ini pada hakekatnya merupakan lanjutan dari ketidakpercayaan lembaga struktural pada institusi sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan.

Lepas dari itu semua, di antara kegetiran yang saya alami pada minggu ini, sebuah pertanyaan spekulatif pantas diajukan dalam pelaksanaan UN tahun ini: Ada skenario apa dengan ikut campurnya gubernur dalam penetapan peta distribusi soal hingga ke ruang kelas?

Moh. Shobirienur Rasyid, 2011

Tidak ada komentar: