Senin, 25 April 2011

KETIKA SEORANG SISWA GALAU AKAN BANGSANYA

/1/
Seperti biasanya, setiap kali saya sampai di sekolah, saya memberesi meja kerja. Kali ini, di meja kerja kerjaku ada buku baru, tapi seingatku, itu bukan buku yang aku beli, sehingga menyisakan tanda tanya padaku, “Buku siapa yang tertinggal di mejaku?” Untuk memuaskan pertanyaan itu, maka buku itu kuambil, kubolak-balik, dan kemudian kubuka. Ada selembar kertas terselip di antara halaman buku itu. Ada pesan dari seorang siswa untuk gurunya, “Kepada Yth. Bapak Sobirin. Saya titip buku ini. Mungkin menarik untuk Bapak. Trims. Paul YS.” Dan kemudian menambahkan catatan, sebagai post scriptum “Mungkin Bapak punya pendapat mengenai Bab 8, yang ditulis oleh Aragon?”
Seperti kerutinan saya setiap kali melihat buku baru, judul buku dan penulisnya adalah bagian pertama yang kubaca. Judul buku itu cukup menantang untuk mengetahui lebih jauh: “Kegalauan Identitas: Agama, Etnistitas, dan Kewarganegaraan pada Masa Pasca-Orde Baru” yang merupakan kumpulan tulisan dan dieditori oleh Martin Ramstedt dan Fadjar Ibnu Thufail. Selanjutnya, juga merupakan kerutinan setiap kali melihat buku baru, saya membaca sampul belakangnya. “Pasca-Orde Baru, semenjak Reformasi 1998, muncul sebuah kata kunci yang sangat lazim, yaitu desentralisasi. Untuk Indonesia, sebuah bangsa yang dibangun oleh keanekaragaman identitas sosial budaya: suku, agama, ras, dan kelompok lain, hal ini tidak serta merta mudah dijalankan. Bukan sekedar mengganti proses-proses kelembagaan dan hukum di tingkat lokal, tetapi bagaimana menakar keterlibatan negara dan warganya dalam proses itu.” Kalimat-kalimat itu lebih dari sebuah endorcement yang sering dikutipkan oleh penerbit untuk mempertinggi prestise sebuah penerbitan, karena lebih tepat merupakan rangkuman dari keseluruhan isi buku. Setidaknya, demikian setelah menyelesaikan buku itu dalam taraf membaca cepat, membaca sebelum mencoba memahami apa-apa yang dituliskan.
Dua paragraf yang lain, tulisan pada sampul belakang itu, sesungguhnya tak lebih dari sekedar iklan murahan, untuk menarik pengunjung toko buku menjadi pembeli. “Buku ini hendak memahami kegalauan identitas masyarakat, yang mencoba untuk menegaskan keberadaan diri dalam upaya pembangunan negara. Satu demi satu, kita menemukan merebaknya konflik-konflik yang berakar pada identitas kelompok. Buku ini menyoroti fenomena di banyak wilayah: perselisihan di Minangkabau, persoalan identitas di Bali, sengketa agama di Papua, kerusuhan Ambon, perdamaian di Minahasa, politikisasi Tionghoa, dan permasalahan hak intelektual.” Daya pikatnya sebagai iklan makin nyata pada bagian terakhir tulisan sampul belakang, “Ini merupakan sebuah pustaka kritis atas kebangsaan kita, yang mengandung urgensi bagi siapa pun yang ingin mencerna Indonesia.”
Jika saya berada di toko buku, dengan kalimat-kalimat endorcement seperti itu, terlebih dahulu saya mengukur isi dompet dan membandingkannya dengan prioritas kebutuhan. Jika isi dompet melebihi catatan prioritas kebutuhan, mungkin buku seperti itu akan berpindah menjadi koleksi bacaan saya. Tetapi sebaliknya, jika isi dompet sama atau bahkan kurang dari pemenuhan catatan prioritas kebutuhan, maka saya bertekad untuk tidak memindahkan buku itu menjadi koleksi bacaaan saya. Beruntung sekali bahwa kali ini, pertimbangan ini tidak muncul, karena buku itu memang sengaja dititipkan padaku dan aku diminta untuk memberikan catatan mengenai buku itu, khususnya tentang Bab 8.

/2/
Bab 8 buku itu ditulis oleh Lorraine V. Aragon dengan judul “Masalah Kepemilikan Budaya: Hak Kekayaan Intelektual Global dan Kesenian Masyarakat Adat di Indonesia.” Pada satu hal, Aragon mencatat betapa puritannya para seniman dan pegiat seni negeri ini. Seolah-olah ia mengejek, bahwa para seniman negeri ini, meskipun sudah hidup pada abad ke-21 tetapi masih berjiwa seniman pra-renaisans. Raganya hidup pada tahun 2000-an, tetapi jiwanya tertinggal 300 sampai 700 tahun sebelumnya. Atau bahkan lebih dari angka itu. Sementara, pada hal yang lain, Aragon juga mencatat bagaimana kepemilikan budaya, baik yang benda maupun yang bukan benda, harus mengikuti kehendak para kapitalis global. Harus mengikuti selera Amerika-Eropa. Standard kehidupan manusia dalam dua abad terakhir ini memang diarahkan untuk mengikuti selera Amerika-Eropa. Tak terkecuali halnya dengan masalah budaya dan kepemilikan budaya.
Itulah komentar singkat saya atas isi Bab 8 buku itu.
Saya ingin memperluas komentar dengan fokus pada beberapa hal saja: (a) budaya itu milik siapa: masyarakat atau negara? (b) jiwa seniman pra-renaisans, masih kontektualkah pada masa sekarang? (c) bagaimana selera Amerika-Eropa itu?

/3/
Budaya itu Milik Siapa: Masyarakat atau Negara?
Kamus antropologi akan mengklaim bahwa budaya itu otomatis milik masyarakat. Tetapi, kamus politik akan menyebutkan bahwa masyarakat adalah bagian dari negara, dan oleh karenanya, segala milik masyarakat itu otomatis milik negara. Para politisi mengukuhkan klaimnya ini antara lain dengan UU Hak Cipta. Klaim negara atas budaya masyarakat ini memang tidak mengabaikan hak cipta individu atau kelompok, yang juga dilindungi dalam UU Hak Cipta.
Hingga di sini dapat dijelaskan, bahwa semua benda budaya, baik berupa benda maupun non-benda, dapat diklaim oleh negara, sejauh hak ciptanya tidak dimiliki oleh individu. Jadi benda-benda budaya seperti (a) buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain; (b) ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu; (c) alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan; (d) lagu atau musik dengan atau tanpa teks; (e) drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim; (f) seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan; (g) arsitektur; (h) peta; (i) seni batik; (j) fotografi; (k) sinematografi; (l) terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan; apabila kesemua itu hak ciptanya tidak dimiliki oleh individu, maka dapat diklaim oleh negara. Kalaupun hak cipta itu dimiliki oleh seorang individu, suatu ketika dapat diklaim sebagai milik negara, mengingat hak cipta memiliki batas waktu yang tertentu.
Ketika Negara melalui Undang-Undang mengklaim sebagai pemegang Hak Cipta atas karya peninggalan prasejarah (baca: praaksara), peninggalan sejarah, serta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama (seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian, kaligrafi, dan karya seni lainnya); sesungguhnya seluruh Hak Cipta yang dimiliki oleh individu telah berakhir. Jangan bicara Hamengkubuwono X itu sebagai pemilik Hak Cipta atas keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan isinya, karena keraton dan isinya yang ia mewarisi itu merupakan peninggalan sejarah, dan Undang-Undang mengklaim bahwa negaralah yang berhak atas Hak Cipta peninggalan sejarah itu. Sekalipun Hak Cipta dapat diwariskan, nyatanya Hamengkubuwono X itu mewarisi peninggalan sejarah, bukan mewarisi harta peninggalan ayahanda dan para leluhurnya.
Maka, sejak undang-undang hak cipta diumumkan, buku-buku sejarah harus banyak diubah. Bahwa pencipta Negarakretagama itu bukanlah Prapanca, tetapi negara Indonesia, karena Negarakretagama itu peninggalan sejarah dan hak ciptanya dimiliki oleh negara. Bahwa pencipta keris-keris di keraton Kasepuhan Cirebon itu bukanlah Mpu Supa, tetapi negara Indonesia, karena keris-keris di keraton Kasepuhan Cirebon itu merupakan peninggalan sejarah. Bahwa pencipta logo Nahdlatul Ulama itu negara Indonesia, pencipta lagu Indonesia Raya itu negara Indonesia, pencipta puisi Aku itu negara Indonesia, dst. dst. Individu-individu kreator itu hilang dengan sendirinya, begitu karyanya berubah sebagai peninggalan sejarah.

/4/
Jiwa Seniman Pra-Renaisans, Masih Kontektualkah pada Masa Sekarang?
Begitulah Undang-Undang negeri ini. Siapapun dapat dengan mudah menemukan kontradiksi isi di dalamnya. Tak perlu jauh-jauh harus membandingkan dengan Undang-Undang lain. Tak perlu membandingkan UU Hak Cipta dengan UU Cagar Budaya, misalnya.
Oleh karena itu, sangatlah bijak sikap sebagian besar para seniman dan para kreator Indonesia saat ini, yang masih mengusung prinsip kepemilikan kolektif atas benda-benda budaya, baik yang berupa benda maupun non-benda. Begitulah, yang pernah diteliti Aragon sehubungan dengan Hak Cipta di kalangan seniman dan pekerja seni tradisional di Indonesia.
Sikap seniman dan pekerja seni tradisional ini mungkin oleh banyak kaum muda yang berpendidikan aliran Eropa-Amerika, layak disebut sikap jiwa seniman pra-Renaisans. Mereka para kreator, telah “mati” begitu karya agungnya tercipta. Selebihnya, karya agung itu merupakan milik masyarakat pendukung suatu budaya. Bukan lagi milik individu. Bukan lagi milik sang maestro. Begitulah atmosfer kebudayaan Eropa pra-Renaisans. Begitulah atmosfer kebudayaan Indonesia hingga kini.
Dengan berpandangan seperti ini, harusnya Aragon tidak terkejut begitu menemukan banyak versi naskah La Galigo. Bukan cuma banyak versi, tapi juga banyak interpretasi. Inilah hakekat kepemilikan kolektif: semua eksponen pendukungnya memiliki kesempatan yang sama dengan sang kreator pertama untuk melakukan interpretasi dan melahirkan varian versi. Inilah budaya yang hidup dan menginternalisasi pada setiap dada semua pendukungnya. Inilah yang Indonesia.
Tetapi ketahuilah, bahwa budaya yang hidup dan menginternalisasi secara kolektif itu, dewasa ini hanyalah sekedar gerbong ekonomi dalam satu rangkaian kereta api yang terdiri dari gerbong ekonomi, gerbong bisnis dan gerbong eksekutif dengan satu lokomotif. Gerbong itu, betapapun dibutuhkan oleh banyak orang, tetapi ditempatkan pada bagian belakang, dan kelak akan diputus dari rangkaian. Di depan gerbong ekonomi terdapat gerbong-gerbong kelas bisnis, yang mengusung tradisi pasca-Renaisans, yang dididik oleh bangku formal perkuliahan. Gerbong bisnis ini memerlukan identitas individual sebagai bagian yang melekat dengan karya ciptanya. Ia memerlukan apresiasi dari pendukung budayanya, tetapi tidak memerlukan interpretasi –apalagi versi– dari pendukungnya. Sekali versi tercipta, maka identitas individu tergoyahkan.
Pada bagian depan, terdapat gerbong eksekutif yang sangat eksklusif. Kerap memandang rendah gerbong bisnis, apalagi gerbong ekonomi. Pada kelompok ini dapat dimasukkan jenis-jenis budaya impor dan perilaku impor. Memiliki Ferari di tengah-tengah padatnya lalu-lintas Jakarta; memandang rendah musik dangdut melayu setelah berpaling pada musik chaiya India; meninggalkan tarian tradisional karena berpaling pada modern-dance; melupakan bahasa daerah karena berpaling pada bahasa Inggris; merupakan contoh kecil bagaimana gerbong eksekutif itu ditempatkan. Tak perduli meski cuma sekedar pengguna, yang penting statusnya.
Lokomotif peradaban itu sendiri, yakni pemerintah, harusnya menjadi penyeleksi: berapa puluh gerbong ekonomi yang harus dirangkai, berapa gerbong bisnis yang dibawa, dan mempertimbangkan perlu tidaknya mengangkut satu gerbong eksekutif. Pemerintah jangan memaksa mengamputasi gerbong ekonomi dan memperbanyak gerbong eksekutif, untuk mengakomodir kepentingan kaum kapitalis global. Pemaksaan model ini akan mengubah tingkat kebutuhan masyarakat. Coba saja bayangkan, sebagian besar masyarakat mungkin hanya membutuhkan 450W/900W kebutuhan listrik rumahnya, tetapi instansi PLN menawarkan penambahan daya gratis untuk bermigrasi ke 1300W/2200W. Jika promosi ini terus ditawarkan, bahkan jika kemudian dikeluarkan kebijakan penghapusan 450W/900W, maka akan mengubah tingkat kebutuhan baru pada sebagian terbesar masyarakat.
Begitulah budaya kolektif kita, dengan adanya Undang-Undang Hak Cipta yang dituntut oleh para kapitalis global, perlahan-lahan akan terbunuh. Perlahan-lahan makin menguat individualisasi produk-produk budaya, seperti yang sudah tampak pada dewasa ini. Sementara negara, berpihak kepada kepentingan kapitalis global, karena memang Undang-undang Hak Cipta itu merupakan proyek konspirasi global dari para kapitalis global.
Ada arus balik dari semua itu. Kita semua harus salut pada Wikipedia dan Linux yang berani menentang proyek konspirasi ini.

/5/
Bagaimana Selera Amerika-Eropa itu?
Pernahkah Anda mengikuti acara makan dalam satu ritus table manner internasional? Delapan sendok-garpu-pisau dibentangkan. Piring makan, mangkuk sup, piring buah, piring menu pembuka, disiapkan. Awas, jangan menarik sendiri kursi makan. Ingat, jangan salah dari sisi mana Anda menduduki kursi; bagaimana menata serbet yang benar; bagaimana menata tangan di meja makan; bagaimana arah hadap sendok dalam menyantap sup. Semua ada aturan internasionalnya. Ada mannernya.
Pernahkah Anda membayangkan bahwa hotel yang berstandar internasional itu hanya memiliki closet kering? Denda diberlakukan bagi siapapun yang membasahi closet kering. Lebih dari itu, Anda yang tidak biasa “istinja” (baca: meper) dengan tisu, sebaiknya jangan buang hajat di hotel berstandar internasional, kalau tidak ingin tersiksa.
Benarkah itu standar internasional? Apakah dunia kontinental Asia, Afrika, Amerika Latin, Pasifik, ikut memberi kontribusi pada standar itu? Jawabannya TIDAK! Karena, standar internasional itu tak lebih dan tak bukan merupakan cara lokal Amerika-Eropa saja. Table manner itu adalah cara Amerika-Eropa meneruskan tradisi barbarnya dari hutan rimba hingga ke meja makan. Hotel berstandar internasional itu adalah cara lokal Amerika-Eropa yang phobia pada air. Mereka ingin mengglobalkan tradisi lokal mereka, supaya mereka tetap jadi yang terdepan. Mereka melebeli tradisi lokal mereka sebagai sesuatu yang “modern”, sementara tradisi lainnya sebagai “tradisional” atau bahkan “primitif”.
Jika Anda mempelajari filsafat sejarah, maka Anda tidak terkaget-kaget dengan fenomena ini. Gerak sejarah, dalam pandangan filsafat Amerika-Eropa memang begitu. Budaya di luar Amerika-Eropa itu hanya diidentifikasikan ke dalam salah satu dari dua hal saja: “tradisional” atau “primitif”. Sementara yang “modern” itu adalah yang “lokal” Amerika-Eropa. Dunia intelektual, oleh kaum intelektual Amerika-Eropa akan diarahkan ke tradisi lokal Amerika-Eropa yang katanya “modern”. Dunia ekonomi, oleh kaum kapitalis global, akan arahkan ke tradisi lokal Amerika-Eropa yang katanya “modern”. Dunia politik, oleh para pialang politik global, akan arahkan ke tradisi lokal Amerika-Eropa yang katanya “modern”. Begitu seterusnya.
Perhatikan saja fenomena sekarang. Lidah dunia distandardisasikan oleh rasa KFC, Mc.D., PizzaHut, Coca-cola, Pepsi-cola. Fastfood lokal yang bermutu seperti gado-gado dan ketoprak menjadi makanan tradisional kalau bukan makanan primitif. Jam kerja distandardisasikan untuk mencukupkan 8 jam per hari, 40 jam per minggu, sedangkan hari Sabtu-Ahad adalah hari Tuhan (Minggu) yang karenanya harus dijadikan hari libur. Kemana inang-inang yang memulai jam kerjanya pada jam 3 dini hari tanpa mengenal hari istirahat, betapapun mereka religius? Kemana para pengrajin yang mengisi hari-hari senggangnya, di antara kesibukan sebagai petani? Kemana para pelayan rumah yang bekerja tanpa batas waktu, tetapi sang majikan sering harus tahu diri kapan mereka beristirahat? Kemana anak-anak yang magang membantu pekerjaan orang tuanya?
Dunia memang sedang diarahkan pada satu selera. Selera lokal Amerika-Eropa.

/6/
Jika saya memberi judul ini dengan judul “Ketika Seorang Siswa Galau Akan Bangsanya” hanyalah sekedar entry-point dari kegalauan yang lebih besar. Yakni, juga merupakan kegalauan saya sebagai gurunya dan kegalauan satu generasi terhadap nasib bangsanya.


Tangerang Selatan, 19 April 2011
MOH. SHOBIRIENUR RASYID

Tidak ada komentar: